
Bambang menilai proses pembelian eks Rumah Dinas Gubernur Maluku Utara oleh Pemerintah Kota Ternate, memiliki indikasi kuat adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan hingga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Sebab, status hukum lahan tersebut sudah jelas dimenangkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara hingga tingkat putusan mahkamah agung melalui putusan Nomor 191/K/Pdt/2013.
“Putusan MA sudah final dan menyatakan lahan itu milik Pemerintah Provinsi (Pemprov), maka Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate tidak punya alasan lagi untuk membayar kepada pihak lain yang kalah di pengadilan. Apalagi pembayaran dilakukan dengan menggunakan dana APBD, ini jelas-jelas berpotensi masuk kategori perbuatan melawan hukum,” Tegas Bambang
Bambang menilai langkah pembayaran tersebut bukan hanya cacat hukum, tetapi juga bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
“Indikasinya terang benderang. Pertama, membayar tanah yang sudah jelas status hukumnya. Kedua, pembayaran dilakukan tidak sesuai NJOP, melainkan menggunakan harga yang ditentukan sendiri oleh panitia. Ini bentuk penyalahgunaan kewenangan dan bisa dijerat Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” Ujar Bambang
Selain UU Tipikor, Bambang juga menyebutkan adanya ketegasan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang secara tegas melarang setiap pejabat melakukan pembayaran atas objek yang bukan milik atau tidak sah secara hukum.
“Pasal 3 UU Perbendaharaan Negara jelas menyatakan bahwa setiap pejabat dilarang menggunakan anggaran untuk tujuan di luar ketentuan hukum. Pembayaran kepada pihak yang kalah di pengadilan adalah bentuk pengeluaran tidak sah dan merugikan keuangan daerah,” jelas Bambang.
Bambang juga mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan kasus ini, sebagaimana desakan sejumlah elemen masyarakat.
“Kalau kasus ini terus dibiarkan, publik akan menilai ada kesan pembiaran. Saya mendukung penuh agar KPK turun tangan melakukan supervisi bahkan penyelidikan langsung, karena ini menyangkut aset negara dengan menggunakan dana APBD miliaran rupiah,” pungkasnya
Sebelumnya, Ketua LSM LIDIK Maluku Utara, Samsul Hamja, juga menegaskan bahwa pembayaran Rp 2,8 miliar kepada pihak ketiga yang kalah di pengadilan adalah bentuk pelanggaran hukum serius.
Editor Redaksi MakianoPost