
Segala pengorbanan itu dilakukan demi anak cucu, agar mereka tak lagi hidup dalam bayang-bayang adu domba neoliberalisme dan kapitalisme rakus, yang terus mencoba merampas kekayaan alam di wilayah zajira al-mul. Inilah tanah yang dijaga bukan hanya oleh hukum, tetapi oleh sumpah leluhur dan keberanian yang diwariskan turun-temurun.
Seperti yang dikatakan Karl Marx, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.
Provinsi Maluku Utara memiliki sejarah perjuangan panjang dalam upaya memperoleh otonomi daerah. Perjuangan itu tidak lepas dari pengorbanan besar—tumpahnya darah, air mata, dan konflik sosial.
Menurut Che Guevara, perjuangan adalah sebuah proses transformatif yang menuntut pengorbanan dan keberanian untuk mencapai keadilan sosial. Perjuangan bukan hanya tentang perlawanan bersenjata, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif dan solidaritas di antara masyarakat. Kemenangan dalam perjuangan diukur dari sejauh mana revolusi mampu menghilangkan kekuatan kontra-revolusi dan membangun masyarakat baru.
Sebelum dimekarkan, wilayah Maluku Utara merupakan bagian dari Provinsi Maluku yang berpusat di Ambon. Selama puluhan tahun, masyarakat Maluku bagian utara merasa dipinggirkan secara politik dan ekonomi tidak mendapatkan keadilan dalam pembagian anggaran pembangunan serta kurang terwakili dalam struktur pemerintahan provinsi. Hal ini melahirkan kesadaran kolektif untuk memperjuangkan pembentukan provinsi sendiri, yang mencerminkan identitas budaya dan sejarah Maluku Utara sebagai tanah kesultanan besar.
Momentum Reformasi 1998–1999 menjadi titik balik. Setelah tumbangnya rezim Soeharto dan munculnya semangat reformasi, tuntutan pemekaran menemukan momentum politik yang kuat. Rakyat Maluku Utara melihat reformasi sebagai jalan untuk mengakhiri sentralisme pembangunan dan mewujudkan otonomi daerah.
Sebagaimana dikatakan oleh Ir. Soekarno, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri.
Aksi-aksi protes pun memuncak—menjadi lebih masif, lantang, dan terarah.
Demonstrasi Simbolik dan Adat Masyarakat adat dan para pemuda melakukan ritual budaya dan adat sebagai simbol pelepasan wilayah Maluku Utara dari dominasi Ambon. Spanduk bertuliskan Maluku Utara Provinsi Baru" mewarnai jalan-jalan di Ternate.
Menurut Che Guevara, kepemimpinan yang efektif harus didasarkan pada kesadaran ideologis dan komitmen pada revolusi. Ia menekankan pentingnya menjadi seorang revolusioner yang berdedikasi, mampu menginspirasi orang lain, dan bersedia berkorban demi tujuan yang lebih besar.
Tekanan masyarakat dan gelombang protes yang terus meningkat akhirnya memaksa pemerintah pusat untuk merespons dengan membahas Rancangan Undang-Undang pemekaran. Pada 4 Oktober 1999, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, yang secara resmi membentuk Provinsi Maluku Utara. Setelah itu, gelombang protes berubah menjadi konsolidasi administratif dan perjuangan dalam penetapan ibu kota provinsi—sebuah perjuangan yang kemudian dilanjutkan oleh generasi birokrat dan pemimpin lokal.
Namun, setelah pengesahan UU No. 46 Tahun 1999 dan berdirinya Provinsi Maluku Utara secara resmi, wilayah ini belum sepenuhnya stabil. Justru saat itu terjadi konflik komunal bernuansa agama di beberapa daerah, termasuk Ternate, Tobelo, dan Halmahera. Konflik ini merupakan bagian dari kerusuhan Maluku yang juga merambah ke wilayah utara, ditandai dengan kekerasan, pembakaran rumah ibadah, dan jatuhnya korban jiwa.
Saatnya Maluku Utara dan kepemimpinan Sherly jhoanda harus menjadi Moderator yang baik agar, Maluku Utara menjadi salah satu Daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pluralisme.
Seperti dikatakan Gus Dur Tidak penting apa agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua manusia, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu.
Penulis Kaisar Hamid