M. Reza A. Syadik Ketua PB FORMMALUT : Gerakan 25 Agustus Simbol Kesadaran Kritis Rakyat

Sebarkan:
Jakarta, MakianoPost - Ketua Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara Jabodetabek (PB–FORMMALUT), M. Reza A. Syadik, menegaskan bahwa gerakan rakyat pada 25 Agustus tidak dapat dipandang sebagai gejala spontan semata, melainkan sebuah alarm konstitusional terhadap lembaga perwakilan rakyat (DPR-RI). Ironisnya, di tengah upaya Presiden untuk menekankan efisiensi anggaran negara, DPR justru menampilkan euforia politik melalui kenaikan tunjangan, yang secara moral maupun konstitusional patut dipertanyakan legitimasinya.

Fenomena munculnya platform “Bubarkan DPR-RI” yang digaungkan dalam demonstrasi, menurut Reza, harus dimaknai sebagai ekspresi kritik rakyat dalam kerangka kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, bukan sebagai ancaman terhadap demokrasi. Justru, kritik ini merupakan bentuk constitutional check dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Dalam konteks ini, Reza mengingatkan bahwa DPR tidak perlu bersikap “baper” atas kritik publik, karena fungsi utama wakil rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 adalah menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan demi kepentingan rakyat, bukan untuk melindungi kepentingan internalnya. Sikap reaktif DPR justru menandakan krisis legitimasi representasi, yang semakin memperlebar jarak antara rakyat dengan lembaganya.

Lebih jauh, Reza membaca adanya potensi “penumpang gelap” dalam gerakan rakyat, yakni kelompok elit yang berupaya memanfaatkan momentum untuk mengalihkan perhatian publik dari isu fundamental: putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang melahirkan apa yang disebut sebagai “anak haram konstitusi”, yaitu perubahan syarat usia calon presiden–wakil presiden yang membuka jalan bagi praktik politik dinasti. Isu besar ini, kata Reza, seakan dihilangkan dari ruang publik melalui disorientasi isu, sehingga rakyat diarahkan pada konflik minor dan bukan pada substansi kerusakan sistem ketatanegaraan.

Namun, kita menolak lupa bahwa kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia sendiri hingga kini belum sepenuhnya dipulihkan. Berbagai problem yang lahir sejak masa pemerintahan Joko Widodo masih menyisakan luka, dan hingga kini di era Presiden Prabowo belum sepenuhnya dibenahi. Sisa-sisa wajah lama dalam kabinet seharusnya segera di-reshuffle, terutama pada sektor strategis. Kapolri, misalnya, telah terlalu lama menjabat, sementara fungsi pengawasan hukum justru melemah di sektor tambang. Terlebih, Presiden sendiri secara terbuka menyatakan menerima laporan adanya dugaan bekingan tambang oleh unsur aparat Polri dan TNI suatu indikasi serius tentang lemahnya supremasi hukum.

Benar bahwa pemulihan hukum mulai sedikit terlihat melalui langkah Presiden Prabowo yang memberi abolisi dan amnesti terhadap sejumlah tokoh korban kriminalisasi rezim sebelumnya, sebuah langkah bijaksana yang menunjukkan iktikad mengoreksi praktik hukum yang menyimpang. Namun, pada saat yang sama, praktik kriminalisasi baru masih terus terjadi di berbagai daerah. Kasus terbaru di Maluku Utara, misalnya, menimpa 11 warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur yang hanya memperjuangkan hak atas tanah adat mereka. Alih-alih dilindungi oleh negara sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, mereka justru dikriminalisasi oleh aparat kepolisian. Lebih mengherankan lagi, Kapolri tetap diam dan bahkan tidak mengevaluasi kinerja Kapolda Maluku Utara.

Penulis M. Reza A. Syadik
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini